Rabu, 07 Mei 2014

Kisah Nek Ranub, Jeda Mengunyah Sirih Kala Tidur

Sumber http://atjehpost.com
 Oleh Irman I. Pangeran
Irman I. Pangeran
MUHAMMAD THAIB seorang yang gagah meski usianya sudah lebih setengah abad. Rambutnya pendek keabu-abuan. Kumisnya lebat menutup bibir atas. Bibirnya merah, basah, dan bergerak-gerak mengunyah sirih. Wajahnya kemerah-merahan karena matahari. Dadanya bidang tertutup bulu-bulu halus yang menjalar ke pusar. Ia hanya memakai kain sarung tua motif kotak-kotak.

Thaib tengah memperbaiki sila (sadel) sepeda mini di teras kios depan rumahnya ketika saya tiba di sana suatu siang yang panas, paruh kedua Maret 2014. Orang-orang di Gampong Pulo, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara, itu memanggil Thaib: Nek Ranub (Nenek Sirih), lantaran ia nyaris tanpa henti mengunyah sirih sejak 20-an tahun silam.

Mulanya nama panggilan itu muncul dari mulut cucunya yang masih bocah, kemudian melekat dan menjadi julukan bagi Thaib. “Saya makan sirih sejak tahun 1990-an. Pree pajoh ranub watee teungeut (jeda makan sirih saat tidur),” ujar Nek Ranub dengan wajah berhias senyum.

“Phon coba-coba, karna lon kalon nek lon pajoh ranub, lheuh nyan ka ketagihan sampe jinoe (berawal dari sekadar iseng, karena saya lihat nenek saya makan sirih, kemudian ketagihan hingga saat ini),” kata Nek Ranub saat ditanya bagaimana ceritanya sampai ketagihan makan sirih.

Laki-laki 54 tahun ini lantas memberi tamsilan, “Lon pajoh ranub, nye na lhee bak di rumoh, matee bak (saya makan sirih, kalau ada tiga batang tanaman sirih di rumah, mati tanaman)”.

Ketika ia masih muda, di pekarangan rumahnya tumbuh subur tanaman sirih yang ditanam neneknya. Di rumah Nek Bon (almarhumah), neneknya Nek Ranub, dulunya ada rampagoe, cubek, lusong, batee ranub, dan peralatan lain yang berkaitan dengan sirih.

“Tanaman sirih di pekarangan rumah kami belakangan mati akibat terjadi banjir besar di gampong ini,” ujar Nek Ranub yang adalah seorang petani.

Nek Ranub kini membeli sirih di Keude Simpang Meulieng, Ibukota Kecamatan Syamtalira Aron. Sirih yang dibungkus dalam plastik transparan  kecil lengkap dengan pinang dan kapur, dijual di sejumlah warung dan kios.

“Ke mana pun Nek Ranub pergi, selalu membawa sirih dalam saku bajunya,” kata Abel, warga Gampong Pulo yang menemani saya bertamu ke rumah Nek Ranub.

Ketika Nek Ranub pergi ke rumah mertuanya di Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, ia memetik puluhan daun sirih yang ada di sana. Daun sirih itu lantas dimasukkan ke kantong plastik dan digantung pada stang sepeda motornya. “Dalam perjalanan pulang ke Gampong Pulo ini, saya ambil satu-satu. Sampai di rumah sudah habis sirih itu,” ujar Nek Ranub.

Selama makan sirih, Nek Ranub tidak pernah merasakan efek samping. Malah badannya nyaman dan bugar. Namun, Nek Ranub pernah diperingatkan oleh sejumlah orang agar jangan memakai kapur berlebihan saat makan sirih bercampur pinang.

“Menurut orang-orang, kalau terlalu sering pakai kapur bisa berefek tidak baik terhadap badan. Tapi pengalaman saya selama ini, kalau tidak dicampur dengan kapur, sirih jadi kelat, tidak enak. Kalau pakai kapur, sirih terasa nikmat,” katanya.

Nek Ranub punya teman yang sama-sama ketagihan makan sirih. Namanya, Ampon Lauddin, warga Tanah Luas, Aceh Utara. Tatkala Nek Ranub melihat sirih dalam kantong baju Ampon Lauddin, ia langsung mengambil lima buah (sirih yang telah dibungkus berisi pinang dan kapur). Begitu pula jika Ampon Lauddin menemukan sirih di saku baju Nek Ranub.

Sama seperti Nek Ranub, Camat Tanah Pasir, Aceh Utara, Sofyan, saban hari makan sirih. Cara Sofyan makan sirih, kata Nek Ranub, seperti kebiasaan orang zaman lampau. “Geu cok oen ranub geu geusuk-suk bak tu-ot, baro geu pajoh ngon pineung (daun sirih digosok-gosok pada lutut, baru dimakan dengan pinang,” katanya. “Soal makan sirih, saya dan Pak Sofyan seperti  ikut perlombaan”.

***

Sofyan makan sirih sejak lebih 10 tahun lalu, berawal dari penyakit lambung yang menyerangnya. “Orang-orang bilang, sirih bagus untuk obat lambung. Ternyata benar, setelah makan sirih, lambung saya terasa nyaman,” ujar dia kepada saya, paruh ketiga Maret lalu.

Manfaat lainnya dari makan sirih, kata Sofyan, menghilangkan bau mulut. “Banyak juga yang bilang bisa menambah tenaga batin. Tapi saya makan sirih bukan untuk menambah tenaga batin, hanya untuk membuat lambung nyaman,” kata Sofyan yang kemudian terkekeh.

Ketika Sofyan terkesan malu-malu mengakui manfaat sirih dapat menambah tenaga batin, tokoh adat di Lhokseumawe Usman Budiman malah menyatakan secara terang dan jelas. “Dengan makan sirih, kekuatan seks  sangat bagus, dan itu tidak diketahui orang banyak zaman sekarang,” ujarnya.

Pengalaman Usman Budiman, sirih berkhasiat pula untuk pencernaan, asam urat, mag, dan lainnya. “Bagus sekali untuk kebugaran tubuh,” kata mantan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Lhokseumawe ini. “Jadi kadang-kadang kita tidak tahu manfaat sirih sehingga tidak membudayakan lagi makan sirih seperti indatu kita”.

Menurut data dilansir Wikipedia, minyak atsiri dari daun sirih mengandung minyak terbang (betlephenol), seskuiterpen, pati, diatase, gula, zat samak dan kavikol yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi dan fungisida, anti jamur.

Sirih berkhasiat menghilangkan bau badan yang ditimbulkan bakteri dan cendawan. Daun sirih juga bersifat menahan perdarahan, menyembuhkan luka pada kulit, dan gangguan saluran pencernaan. Selain itu juga bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak, meluruhkan ludah, hemostatik, dan menghentikan perdarahan. Biasanya untuk obat hidung berdarah, dipakai dua lembar daun segar piper betle, dicuci, digulung kemudian dimasukkan ke dalam lubang hidung.

Kegunaan sirih antara lain untuk mengobati batuk, sariawan, bronchitis, jerawat, keputihan, sakit gigi karena berlubang, demam berdarah, bau mulut, haid tidak teratur, asma, radang tenggorokan (daun dan minyaknya), gusi bengkak (getahnya), membersihkan mata, dan bau ketiak.

***

Nek Ranub mengatakan kepada saya bahwa orang Aceh masa silam membudayakan makan sirih lantaran mengandung manfaat bagi tubuh. Sirih kemudian menjadi simbol kebudayaan untuk memuliakan tamu: “Mulia jamei ranub lampuan, mulia rakan mameh suara”.

“Orang tua zaman nenek moyang kita makan sirih bukan atas dasar suka-suka. Tapi karena memang sudah diteliti khasiatnya, sehingga dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari, dan diwariskan kepada anak cucunya,” ujar Nek Ranub.

Walau pun tidak dimakan saban hari dan dalam jumlah banyak, Nek Ranub menilai penting bagi masyarakat Aceh saat ini melestarikan kembali budaya makan sirih. Paling tidak disajikan sirih saat menyambut tamu di rumah seperti pada acara perkawinan dan lainnya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar